Dewa Bayu

Figur Wayang Dewa Bayu


Dewa Bayu, dalam bentuk wayang kulit buatan Kaligesing Purworejo,
koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)
Dewa Bayu

Bayu, Batara atau Dewa Bayu adalah anak Batara Guru dengan Dewi Uma. Dewa Bayu bertubuh gagah perkasa lebih besar dibandingkan dengan dewa-dewa yang lain. Ia memiliki kuku pusaka yang bernama Kuku Pancanaka, dan mengenakan kain bermotif kothak-kothak berwarna-warni, yang disebut kampuh Poleng Bang Bintulu Aji. Dewa Bayu dikenal sebagai dewa yang berkuasa atas angin, oleh karenanya ia juga disebut Hyang Maruta. Maruta artinya angin. Karena kekuasaannya itu, Ia mempunyai aji Sepi Angin yang memungkinkan dirinya dapat bergerak sangat cepat seperti gerakan angin.

Dewa Bayu pernah ditugaskan oleh Batara Guru untuk mengasuh anak Dewi Anjani yang bernama Anoman. Di bawah asuhan Dewa Bayu, Anoman yang adalah seekor kera putih, tumbuh menjadi ksatria perkasa yang sakti. Anoman mengenakan kain Kampuh Poleng Bang Bintulu Aji dan pusaka Kuku Pancanaka, sama seperti Dewa Bayu. Sebagai asuhan Dewa Bayu atau Sang Hyang Maruta, Anoman juga mampu bergerak sangat cepat seperti gerakan angin dan mendapat sebutan Maruti.

Dalam cacatan yang lain, Dewa Bayu pernah dimohon oleh Kunthi, istri Pandudewanata untuk memberikan keturunannya. Karena semenjak dikutuk oleh Resi Kimindama, Pandudewanata tidak dapat memberikan keturunan. Maka kemudian dari Dewa Bayu itulah Kunthi melahirkan anak nomor dua yang diberi nama Bima. Secara fisik Bima tidak berbeda dengan Dewa Bayu. Gagah perkasa, suaranya besar menggelegar, mempunyai Kuku Pancanaka, mengenakan kain Kampuh Poleng Bang Bintulu Aji. Walaupun badannya berat dan besar, Bima dapat bergerak secepat angin. Nama lain Bima adalah Bayuputra, Bayusiwi, Bayusunu yang artinya anak Bayu.

Walaupun Bima tidak berada dalam asuhannya, pada saat saat tertentu Dewa Bayu membantu apa yang dibutuhkan anaknya. Seperti misalnya, ketika bayi Bima mengalami kesulitan memecah bungkus, Dewa Bayu mengirim Gajah Sena, untuk membantu memecah bungkus Bima. Juga ketika Bimasena sedang mencari Tirta Amerta, Dewa Bayu berusaha menguji niat Bima dan memberikan bekal ilmu, dengan cara menjelma menjadi seorang raksasa bernama Rukmakala di hutan Tikbrasara.

Selain Anoman dan Bimasena, Dewa Bayu mengasuh empat anak yang lahir dari Istrinya yang bernama Dewi Sumi, yakni Batara Sumarna, Batara Sudarma, Batara Sangkara, dan Batara Bismakara. Bersama Dewi Sumi dan keempat anaknya Dewa Bayu tinggal di Kahyangan Panglawung. Nama lain dari Batara Bayu atau Sang Hyang Maruta adalah Sang Hyang Margana dan Sang Hyang Pagulingan.

herjaka HS

Dursasana

Figur Wayang Dursasana


Tokoh Dursasana dalam bentuk wayang kulit purwa, buatan Kaligesing Purworejo,
koleksi Tembi rumah budaya. (Foto: Sartono)
Dursasana

Dursasana adalah anak nomor dua dari pasangan Destarastra dengan Dewi Gendari. Ia mempunyai 99 saudara kandung yang disebut Kurawa. Adik Prabu Duryudana raja Hastina ini bertempat tinggal di kadipaten Banjarjungut. Ia beristrikan salah satu putri dari Negeri Kasipura atau Swantipura yang bernama Dewi Saltani. Dari perkawinannya Dursasana mempunyai anak tunggal bernama Raden Dursala.

Sepanjang hidupnya Dursasana selalu mendukung semua rencana Duryudana untuk membunuh para Pandawa, yang adalah adik sepupunya.

Dursasana berbadan tingi besar. Tangannya tidak mau diam, selalu bergerak-gerak pada setiap aktivitasnya. Pada waktu duduk, pada waktu bicara, bahkan pada saat tidur pun tangan Dursasana selalu bergerak-gerak.

Ia dikenal sebagai seseorang yang sangat kurangajar, tidak tahu sopan santun. Catatan dalam sejarah hidupnya yang dinilai sangat keterlaluan dalam ukuran kekurangajaran adalah ketika, para Kurawa yang dibotohi oleh Sengkuni memenangkan permaian dadu. Pada waktu itu Dursasana menjambak rambut Durpadi dan menyeretnya dari keputren ke hadapan orang banyak.

Atas hasutan Sengkuni dan Karna, pakaian Durpadi berusaha dilepas oleh Dursasana dihadapan kalayak. Namun keajaiban terjadi, setiap kali Dursasana berhasil menanggalkan pakaian Durpadi, secepat kilat, dengan tidak dapat diikuti oleh pandangan mata, pakaian Durpadi kembali utuh seperti semula.

Demikian hingga berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus pakaian Durpadi yang dilepas Dursasana, tidak membuat Durpadi telanjang. Pakaian yang dikenakan masih utuh menempel di badannya. Dursasana kehabisan tenaga, ia terbaring lemas tertimbun pakaian Durpadi yang menggunung.

Atas kekurangajaran Dursasana yang kelewat batas, Dursasana menerima hukum karma. Walaupun ia mempunyai pusaka sakti yaitu panah Kyai Barla, ia tak kuasa menandingi kesaktian Wrekudara. Dursasana mati secara mengenaskan di tengah sungai Kelawing atau Cing-Cing Goling. Darahnya dipakai keramas Durpadi yang telah dikurangajari habis-habisan.

herjaka HS

Rama Wijaya

Figur Wayang Rama Wijaya

Rama Wijaya dalam bentuk wayang kulit, buatan Kaligesing Purworejo,
koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)
Rama Wijaya

Rama Wijaya adalah kesatria titisan Dewa Wisnu. Ia adalah anak Prabu Dasarata, raja Ayodya. Ibunya bernama dewi Sukasalya atau Dewi Raghu. Orang menyebut Rama Wijaya dengan sebutan Raden Regawa yang berarti anak Dewi Raghu.

Rama merupakan tokoh utama dalam cerita Ramayana. Ia memiliki saudara lain ibu yaitu Barata anak dari Ibu Dewi Kekayi, serta Lesmana dan Satrugna dari ibu Dewi Sumitrawati. Rama bersaudara sejak kecil dididik oleh Resi Wasista, seorang resi yang sangat sakti pada masa itu. Oleh karena itu Rama, Barata dan Lesmana ketika dewasa menjadi satria pilih tanding, sakti rendah hati dan berbudi luhur.

Istri Ramawijaya adalah Dewi Sinta, seorang putri yang sangat cantik, anak angkat Prabu Janaka dari Negara Mantilidirja. Dewi Sinta adalah titisan Dewi Sri Widowati yang menjadi rebutan para raja seribu Negara termasuk Prabu Dasamuka raja raksasa dari Negara Alengkadiraja.

Oleh karena nafsu ingin memiliki atas Dewi Sinta yang adalah merupakan titisan Dewi Widawati, Prabu Dasamuka selalu berusaha untuk mencari saat yang tepat untuk menculik Dewi Sinta. Pada suatu saat, ketika Prabu Ramawijaya dan Dewi Sinta berada di dalam hutan, Prabu Dasamuka berhasil menculik Dewi Sinta.

Ramawijaya sangat sedih atas hilangnya sang istri. Ia bersama Lesmana adiknya bertekad mencari Dewi Sinta hingga ketemu. Sampai kapan pun pencarian tersebut belum akan berhenti sebelum ketemu.

Diceritakan bahwa dalam perjalanan mencari Dewi Sinta, Rama mendapatkan sahabat seorang raja kera bernama Sugriwa yang mempunyai ratusan ribu perajurit kera. Dalam persahabatan tersebut, Sugriwa memohon kepada Ramawijaya untuk membantu mengalahkan kakaknya yang sekaligus adalah musuhnya bernama Subali.

Setelah Rama berhasil membunuh Subali, Sugriwa bersama bala tentara kera berjanji akan membantu Ramawijaya mencari Dewi Sinta sampai ketemu. Dalam usaha pencarian Dewi Sinta ini yang sangat besar jasanya adalah Anoman keponakan Sugriwa yang sangat sakti mandraguna. Anoman berhasil menemukan Negara Alengkadiraja tempat Dewi Sinta disekap oleh Dasamuka.

Maka kemudian diseranglah Negara Alengkadiraja oleh Prabu Rama, Sugriwa dan balatentaranya. Perang besar terjadi antara pasukan Kera dan pasukan raksasa. Prabu Dasamuka gugur ditangan Anoman. Perang tersebut dikenal dengan nama perang Giriantara atau perang Kudupsari Palwaga.

Dewi Sinta berhasil diboyong Ramawijaya kembali ke Ayodya. Rama menjadi raja di Ayodya menggantikan Barata adiknya. Mereka diberi karunia dua anak bernama Batlawa dan Kusiya.

Herjaka HS

Karna (2)

Figur Wayang Karna (2)


Karna, wayang kulit purwa koleksi Tembi Rumah Budaya buatan Kaligesing (foto: Sartono)
Karna (2)

Cerita selanjutnya mengenai diriku aku dapatkan dari Bapa Adirata seorang sais kereta kraton Hastinapura, sewaktu pemerintahan Prabu Kresna Dwipayana dan Prabu Pandudewanata.

Pada suatu pagi, ketika Adirata sedang membasuh badannya di Sungai Gangga, ia terkejut melihat dari kejauhan sebuah benda yang berkilau-kilau. Tanpa pikir panjang Adirata berenang menyongsong benda tersebut. Lebih terkejut setelah diketahui bahwa benda berujud peti kecil terbuka yang dinamakan gendaga tersebut berisi bayi mungil yang memakai pakaian perang yaitu Kotang Kerei Kaswargan, semacam baju Zirah dan Anting Mustika. Dengan raut muka berbinar-binar, Adirata memondong gendaga dan bergegas membawanya pulang. Adirata menjadi tidak sabar untuk segera mengabarkan kabar sukacita ini kepada Rada isterinya.

Bagaiakn kejatuhan rembulan sepasang suami isteri setengah baya tersebut mendapatkan bayi yang selama ini didamba. Apalagi bayi tersebut bukanlah bayi sembarangan, jika dilihat dari kedua benda yang melekat di tubuhnya dan perlengkapan yang disertakan.

Adirata dan Rada merawat bayi yang ditemukan dengan ketulusan dan kasih sayang. Selain bernama Karna sesuai dengan tulisan yang disertakan, bayi tersebut kemudian diberi nama Wasusena karena waktu diketemukan memakai pakaian perang. Sedangkan orang-orang disekitarnya menyebut Karna dengan nama panggilan Radeya yang artinya anak dari Nyai Rada.

Karna tumbuh menjadi anak yang cerdas berani dan jujur. Adirata dan Nyai Rada bangga karenanya. Setelah menginjak dewasa, Karna sering berpetualang sendirian. Belajar ilmu ke sana-kemari. Ketika pada suatu waktu Karna lewat di Sokalima, ia kepengin sekali bergabung dengan para Kurawa dan para Pandawa untuk bersama-sama berguru kepada Durna. Tetapi keinginannya tidaklah mungkin kesampaian, dikarenakan Karna bukanlah termasuk golongan ksatria. Ia hanyalah anak seorang sais kereta. Anak seorang sais kereta pantasnya juga menjadi sais kereta. Pemahaman seperti itulah yang ada pada Adirata, maka kemudian diberikanlah sebuah kereta kuda agar dipakai Karna untuk belajar menjadi sais.

Walaupun hal tersebut tidak sesuai dengan gejolak jiwa yang ada, Karna tidak menolaknya, malahan kereta kuda pemberian Adirata tersebut dijadikan alat untuk latihan perang-perangan. Usaha Karna untuk mendapatkan ilmu-ilmu tingkat tinggi tidak pernah berhenti hanya karena tidak diperkenankan bergabung menjadi satu perguruan dengan para ksatria Pandawa dan Kurawa. Karna tetap gigih berusaha untuk mendapatkan guru sakti yang tidak kalah jika dibandingkan dengan kesaktian Durna. Karena usahanya yang tak berkesudahan, Karna akhirnya menemukan guru sakti yang ahli bermain senjata Kapak dan senjata panah, yang bernama Rama Parasu. Namun dikarenakan Rama Parasu mempunyai dendam pribadi kepada seorang ksatria, dan tidak mau menerima murid seorang ksatria. Maka Karna menyamar menjadi seorang brahmana dan berguru kepada Rama Parasu.

Dengan menyamar sebagai brahmana Karna diterima menjadi murid Rama Parasu. Ilmu-ilmu yang diajarkan diserapnya dengan cepat dan tuntas. Tidak lama kemudian Karna telah menjelma menjadi seorang remaja yang mempunyai ilmu tingkat tinggi, yang tidak kalah jika dibandingkan dengan ilmu para ksatria Pandawa dan Kurawa.

herjaka HS

Karna (1)

Figur Wayang Karna (1)


Karna, wayang kulit purwa koleksi Tembi Rumah Budaya buatan Kaligesing (foto: Sartono)
Karna (1)

Aku dilahirkan dari seorang ibu yang bernama Dewi Kunthi atau Dewi Prita, anak Prabu Basukunti alias Kuntiboja raja negara Mandura. Menurut cerita yang aku terima dari ramanda Batara Surya, aku dilahirkan melalui telinga, oleh karenanya aku diberi nama Karna yang artinya telinga. Aku sendiri juga heran dan bertanya-tanya, benarkah aku dilahirkan melalui telinga Ibu Kunti? Sungguh ajaib. Bagaimana hal itu bisa terjadi? untuk memenuhi rasa ingin tahuku, Ramanda Batara Surya menceritakan peristiwa seputar kelahiranku. Diceritakan bahwasanya Ibu Kunthi adalah sosok wanita yang cantik jelita, cerdas, luwes, patuh dan sabar. Oleh karena kelebihannya, Eyang Prabu Basukunti mempercayakan kepada Ibu Kunti untuk melayani tamu-tamu negara.

Pada suatu waktu Negara Mandura kedatangan tamu seorang Begawan sakti yang bernama Begawan Druwasa. Ia sangat puas atas pelayanan Kunti. Sebagai tanda terimakasihnya Begawan Druwasa memberikan kepada Kunti sebuah mantra sakti yang bernama Aji Adityar Hedaya atau Aji Dipamanunggal atau disebut juga Aji Pameling. Mantra sakti tersebut berdayaguna untuk mendatangkan dewa sesuai dengan yang diinginkan.

Selain hal-hal positif yang ada pada sosok Kunthi, ada hal-hal negatif yang dimilikinya, salah satunya adalah kebiasaan bangun siang. Pada suatu hari ketika Kunti bangun tidur, ia tidak dengan serta merta meninggalkan pembaringannya. Ia ingin merasakan keindahan dan merasakan kehangatan sinar matahari yang masuk di kamarnya. Melihat sinar matahari yang mengenai tubuhnya, Kunti membayangkan sosok Batara Surya, dewa rupawan yang menguasai matahari. Tiba-tiba Kunti teringat mantra sakti Aji Pameling pemberian Begawan Druwasa. Sebagai dara belia, ia tergoda untuk mencoba mengetrapkan ajian tersebut. Maka kemudian dibacanya mantra sakti tersebut. Hasilnya sungguh luar biasa. Pada saat selesai membaca mantra Aji Pameling, seusai Kunti mengerdipkan matanya, tiba-tiba di tilamsari tempat Kunti berbaring telah hadir Dewa Surya, Dewa penguasa matahari.

Sosok yang diangankan telah hadir disampingnya, tidak ada lagi yang membedakan antara angan dan kenyataan. Ketika ke duanya hadir dalam waktu yang bersamaan, tidak ada lagi yang menghalangi, keduanya akan menjadi satu. Angan yang menguasai pikiran dan kenyataan yang menguasai raga saling berpuletan erat. Keduanya berada antara alam mimpi dan alam nyata.

Namun pada kenyataan setelah kejadian tersebut Dewi Kunti mengandung. Atas kejadian tersebut Prabu Basukunti marah luar biasa. Ia memanggil Begawan Druwasa untuk meminta pertanggungjawabannya atas pemberian Aji Pameling kepada Kunti yan masih belia. Sesungguhnya yang dilakukan Begawan Druwasa tersebut untuk menolong Kunti. Karena menurut pesan gaib yang diterima Begawan Druwasa, bahwa pada suatu saat nanti Kunti sangat membutuhkan Aji Adityar Hedaya. Namun sayang belum tiba waktunya Kunti telah mencoba mantra aji Pameling kepada Dewa Surya.

Begawan Druwasa tahu resikonya jika seorang dara belia mempunyai aji Pameling. Maka dari itu ia bertanggungjawab atas resiko yang terjadi. Maka ketika usia kandungan Kunti sudah berumur sembilan bulan lebih sepuluh hari, dengan kesaktiannya Begawan Druwasa membantu kelahiran bayi. Dengan mantra saktinya yang menyatakan bahwa Aji Adityar Hedaya yang pada mulanya masuk melalui telinga menuju ke angan Kunti, meresap di hati, di tubuh dan kemudian menggumpal menjadi sosok bayi, akan dikeluarkan melalui telinga pula. Itulah keajaiban. Begawan Druwasa membopong kelahiran bayi yang keluar melalui lobang yang sama seperti ketika pada mulanya benih itu masuk. Dan dinamakan bayi itu Karna, yang berarti telinga.

Upaya melahirkan bayi melalui telinga adalah perwujudan tanggung jawab Begawan Druwasa untuk memulihkan keperawanan Kunti, bahwa Kunti masih gadis, belum beranak. Maka keberadaan bayi tersebut dianggap aib, Oleh karena harus di buang dilarung ke sungai Gangga agar jauh meninggalkan negara Mandura, demikian perintah Prabu Basukunti.

Sebelum Karna dihanyutkan di sungai, ada satu hal yang masih diingat oleh Kunthi bahwa bayi Karna memakai Anting Mustika dan Kotang Kerei Kaswargan pemberian Dewa Surya.

Sejak bayi yang tidak berdosa tersebut dihanyutkan di sungai Gangga nama Karna sengaja dihapus dari negara Mandura. Terbukti Prabu Basukunti menggelar sayembara, bagi siapa saja yang dapat memenangkan sayembara berhak memboyong putri kedhaton Mandura yaitu Dewi Kunti.

Herjaka HS

Jayadrata

Figur Wayang Jayadrata


Jayadrata dalam bentuk wayang kulit, karya dari Kaligesing Purworejo.
Koleksi Tembi Rumah Budaya  (foto: Sartono)
Jayadrata

Kelahiran Jayadrata berawal dari bungkus bayi Bima yang dipecah oleh Gajah Sena atas bantuan Dewa Bayu. Saat bungkus pecah, daging bungkus tersebut terbang terbawa angin oleh karena daya dorong Dewa Bayu yang adalah dewanya angin, sampai di samodera dan jatuh di pangkuan Begawan Sapwani yang sedang bertapa untuk memohon anak. Betapa gembiranya hati Begawan Sapwani, ketika daging bungkus bayi Bima berubah menjadi bayi laki-laki. Bayi tersebut diasuhnya dan diberi nama Bambang Segara, karena didapat di pinggir Segara atau Samodra. Setelah dewasa Bambang Segara mendapat tambahan nama Jayadrata dan tinggal di kasatriyan Banakeling. Jayadrata adalah ksatria yang sakti madraguna. Ia kemudian menjadi raja di negeri Sindu Kalangan dan bergelar Tirtanata, yang artinya raja air.

Pernah suatu ketika, Tirtanata gelisah dengan dirinya, dan ingin mencari saudaranya yang bernama Bima. Begawan Sapwani menyarankan agar Tirtanata pergi ke negara Hastina karena Bima ada di negeri itu. Sesampainya di Hastina, Tirtanata tidak ketemu dengan Bima, karena Bima dan para Pandawa hidup dihutan sejak peristiwa Bale Sigala-gala. Tirtanata bertemu dengan Kurawa dan dibujuk oleh Sengkuni agar bergabung dengan Kurawa. Jika Tirtanata mau bergabung dengan Kurawa, Duryudana menjanjikan sebuah kedudukkan di Negara Hastina. Tidak hanya kedudukkan, bahkan Tirtanata dikawinkan dengan Dewi Dursilawati adik Duryudana yang bungsu. Maka sejak saat itulah Tirtanata menjadi sekutu Kurawa.

Pada saat perang Baratayuda, Tirtanata juga menjadi senapati perang pihak Hastina. Ia berhasil membunuh anak kesayangan Arjuna, yaitu Abimanyu. Arjuna kemudian dendam, dan bersumpah untuk membunuh Tirtanata sebelum matahari terbenam. Jika sampai dengan matahari terbenam belum dapat membunuh Tirtanata alias Jayadrata, Arjuna akan bunuh diri.

Sumpah itu didengar oleh para Kurawa. Maka mereka berupaya menyembunyikan Jayadrata. Begawan Sapwani tidak tinggal diam. Ia merekayasa seribu Jayadrata tiruan untuk mengecoh Arjuna. Melihat banyaknya Jayadrata di medan perang Arjuna kebingungan untuk melepaskan panahnya. Kresna mengetahui semuanya. Maka ditutuplah mata hari yang belum waktunya terbenam dengan senjata Cakra.

Medan perang menjadi gelap. Kurawa mengira bahwa hari sudah malam, sehingga Arjuna akan mati membakar diri sesuai dengan sumpahnya karena belum dapat membunuh Jayadrata. Oleh karenanya para Kurawa keluar ke medan perang, termasuk Jayadrata yang asli, untuk melihat Arjuna membakar diri. Pada saat itulah Kresna menunjukkan kepada Arjuna Jayadrata yang asli berada. Maka dilepaslah panah ke leher Tirtanata hingga putus dan kepalanya jatuh ke tanah dan menggelinding di depan Bagawan Sapwani. Bersamaan dengan itu Kresna membuka tutup matahari, dan medan perang pun menjadi terang kembali, karena hari masih sore.

Melihat anaknya tinggal kepala Begawan Sapwani menangis seperti anak kecil. Ia tidak terima atas perlakuan Arjuna terhadap anaknya. Maka kemudian mulut Jayadrata diberi pusaka berupa Cis semacam tombak pendek. Dengan cis dimulutnya Jayadrata mengamuk. Semua anak Arjuna mati terkena senjata cis.

Melihat kepala Jayadrata memakan banyak korban Bima segera menghabisi kepala Jayadrata yang masih bernyawa dengan Gada Rujak Polo. Jayadrata mati meninggalkan satu istri yaitu Dewi Dursilawati dan dua anak yang bernama Arya Wirata dan Arya Surata.

herjaka HS

Togog

Figur Wayang Togog

Togog dalam penggambaran wayang kulit purwa,
koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)
Togog

Togog digambarkan sebagai seorang yang bertubuh pendek dan gemuk. Mulutnya lebar dan menjorok panjang, bentuknya seperti mulut bunglon. Pada waktu kecil hingga remaja nama Togog adalah Sang Hyang Tejamantri atau Sang Hyang Antaga atau juga Sang Hyang Puguh. Ia berparas tampan, anak dari pasangan Sang Hyang Tunggal dan Dewi Rekatawati.

Togog Tejamantri mempunyai dua saudara laki-laki yang bernama Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Manikmaya. Kisah kelahiran Togog berawal dari sebuah telur yang dilahirkan oleh Dewi Rekatawati. Kemudian telur itu dipuja oleh Sang Hyang Tunggal menjadi tiga laki-laki tampan. Kelahiran laki-laki tampan yang nomor satu berasal dari kulit telur dan diberi nama Sang Hyang Tejamantri. Laki-laki tampan yang nomor dua lahir berasal dari putih telur dan diberi nama Sang Hyang Ismaya dan laki-laki tampan nomor tiga lahir berasal dari kuning telur dan diberi nama Sang Hyang Manikmaya.

Dari kecil hingga remaja mereka bertiga hidup rukun. Namun setelah dewasa masing-masing dari mereka menginginkan menjadi penguasa tertinggi di Kahyangan. Ketiga anak pasangan Sang Hyang Tunggal dan Dewi Rekatawati tersebut saling berebut tahta. Tidak ada yang mau mengalah.

Untuk mengatasi hal itu, Hyang Tunggal membuat sayembara, barang siapa dapat menelan gunung Saloka dan dengan segera memuntahkannya kembali itulah yang berhak menjadi penguasa Kahyangan. Sang Hyang Tejamantri sebagai putra tertua mencoba terlebih dahulu menelan gunung Saloka. Namun hingga mulutnya robek dan badannya rusak, Sang Hyang Tejamantri gagal dalam sayembara tersebut.

Oleh karena gagal menjadi penguasa di Kahyangan, Sang Hyang Tejamantri diperintahkan turun ke dunia sebagai pamomong raja. Sejak saat itu ia dikenal dengan nama Togog. Tugasnya adalah sebagai penasehat dan mengingatkan raja yang menjadi momongannya agar senantiasa menghindari tindak kejahatan yang merugikan orang lain.

Namun sayang, tidak ada satu raja pun yang mau mendengar dan menuruti nasihat Togog untuk menanggalkan kejahatannya dan beralih pada jalan yang diberkati. Oleh karenanya sampai sekarang Togog dikenal sebagai pamomong raja-raja yang berwatak jahat

herjaka HS

Abimanyu (1)

Figur Wayang Abimanyu (1)

Wayang kulit purwa tokoh Abimanyu koleksi Tembi Rumah Budaya buatan Kaligesing
Purworejo (foto: Sartono)
Abimanyu (1)

Abimanyu lahir dari Dewi Sembadara, isteri Arjuna. Diantara anak-anak Arjuna, Abimanyu anak yang paling disayangi. Tidak hanya disayangi oleh Arjuna dan Sembadra sebagai orang tuanya, tetapi juga disayangi oleh kerabat Pandawa. Ia disiapkan menjadi raja, dikarenakan Abimanyu adalah satu-satunya keturunan Pandawa yang mendapat wahyu raja yaitu wahyu Cakraningrat.

Abimanyu digambarkan sebagai satria yang tampan, sakti, pemberani, pendiam tetapi mudah marah dan ringan tangan. Jika sedang marah tidak ada yang berani mendekat, karena sangat berbahaya. Oleh sebab itu ia dinamakan Abimanyu yang artinya Abi = dekat dan manyu = marah.

Ketika masih remaja ia pernah membela dan melindungi ibunya dari ancaman Prabu Angkawijaya raja negara Plangkawati yang ingin memperisteri Dewi Sembadra. Abimanyu berhasil mengalahkan Prabu Angkawijaya. Sejak saat itu kerajaan Plangkawati dikuasai oleh Abimanyu. Rakyat Plangkawati menganggap Abimanyu sebagai pengganti Prabu Angkawijaya. Oleh karenanya mereka menyebut Abimanyu dengan nama Angkawijaya.

Setelah dewasa Abimanyu menikah dengan Dewi Siti Sundari anak Prabu Kresna. Namun sayang Siti Sundari mandul sehingga tidak mempunyai keturunan. Prabu Kresna merasa ikut bersalah atas perkawinan Abimanyu dan Angkawijaya yang ternyata anaknya tidak dapat mengandung dan melahirkan benih raja dari Abimanyu. Karena pada mulanya Kresna telah merekayasa perkawinan antara Abimanyu dengan Siti Sundari agar kelak anak keturunannya Siti Sundari dapat menjadi raja di tanah Jawa.

Untuk menebus kesalahannya Kresna menganjurkan agar Abimanyu memperisteri Dewi Utari yang mempunyai wahyu ratu yaitu wahyu Widayat. Maka kemudian ketika ada sayembara di negara Wirata, Abimanyu disarankan mengikutinya. Sayembara yang digelar Prabu Matswapati raja Wirata tersebut adalah barang siapa kuat menggendhong Dewi Utari putri raja Prabu Matswapati, berhak memperisteri Dewi Utari.

Ribuan peserta mengikuti sayembara tersebut, tetapi tidak ada yang kuat menggendong Dewi Utari. Hal tersebut dikarenakan Dewi Utari telah mendapatkan wahyu Widayat, yang adalah wahyu ratu. Satu-satunya orang yang kuat menggendong wahyu Widayat yang telah manuksma atau menjadi satu raga dan suksma dengan Dewi Utari adalah wahyu Cakraningrat yang telah manuksma di dalam diri Abimanyu. Maka sayembara dimenangkan oleh Abimanyu. Wahyu Widayat bersatu dengan wahyu Cakraningrat, Utari bersatu dengan Abimanyu dan melahirkan Parikesit yang kelak menjadi raja Hastina sesudah perang Baratayuda.

herjaka HS

Semar

Figur Wayang Semar

Semar dalam penggambaran wayang kulit purwa,buatan Kaligesing Purworejo,
koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) 
Semar

Pada mulanya Semar adalah dewa berparas tampan, bernama Sang Hyang Ismaya. Ia mempunyai dua saudara laki-laki yang bernama Sang Hyang Tejamantri dan Sang Hyang Manikmaya. Kisah kelahiran Semar berawal dari sebuah telur yang dilahirkan oleh Dewi Rekatawati. Telur tersebut kemudian dipuja oleh Sang Hyang Tunggal. Kulit telur menjadi anak laki-laki tampan yang lahir sulung dan diberi nama Sang Hyang Tejamantri. Disusul oleh kelahiran anak kedua yang berasal dari putih telur yang diberi nama Sang Hyang Ismaya. Sedangkan anak laki-laki tampan nomor tiga berasal dari kuning telur dan diberi nama Sang Hyang Manikmaya.

Ketiga laki-laki anak pasangan Sang Hyang Tunggal dan Dewi Rekatawati tersebut setelah dewasa saling berebut kekuasaan di Kahyangan. Untuk mengambil keputusan siapa yang berhak menjadi penguasa tertinggi di Kahyangan, Sang Hyang Tunggal menggelar sayembara. Barang siapa dapat menelan gunung Saloka dan dengan segera memuntahkannya kembali akan di jadikan penguasa tertinggi di kahyangan. Sang Hyang Ismaya berhasil menelah gunung Saloka tetapi tidak berhasil memuntahkan kembali, akibatnya Sang Hyang Ismaya yang sebelumnya tampan berubah wujud menjadi gemuk bulat, pendek, hitam dan berparas jelek.

Karena gagal memenangkan sayembara, Sang Hyang Ismaya tidak mendapat kekuasaan di kahyangan, ia diperintahkan turun ke dunia sebagai pamomong para ksatria dan bertempat tinggal di Karang Kadempel atau Karang Kabolotan. Sejak menjadi pamomong, ia tidak pernah lagi disebut-sebut sebagai dewa dengan nama Sang Hyang Ismaya. Semuanya tersamarkan di dalam tugasnya sebagai pamomong atau panakawan. Ia dipanggil dengan nama Semar, dari kata samar atau tidak jelas.

Nama lain dari Semar adalah Badranaya yang artinya rembulan, dikarenakan badannya bulat seperti rembulan. Perkawinannya dengan Dewi Kanestren, Semar mempunyai 10 orang anak yaitu: 1. Batara Bongkokan, 2. Batara Patuk, 3. Batara Temburu, 4. Batara Wrehaspati, 5. Batara Yamadipati, 6. Batara Surya, 7. Batara Candra, 8. Batara Kwera, 9. Batara Kamajaya dan 10. Dewi Darmanastiti.

Tugas Semar yang terutama dan utama adalah mengantar ksatria yang diemongnya untuk mendapat wahyu. Wahyu yang berdaya guna untuk memayu hayuning bawana.

herjaka HS

Bilung

Figur Wayang Bilung

Bilung dalam penggambaran wayang kulit purwa,
koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)
Bilung

Tokoh Bilung digambarkan berperawakan kecil dan pendek, kepalanya penuh dengan penyakit kudis, bibirnya agak lebar dan suaranya melengking sengau. Bilung tidak pernah muncul sendirian. Ia selalu bersama-sama dengan Togog. Hal tersebut dikarenakan tugas yang diemban Bilung adalah untuk mengikuti Togog.

Kelahiran Bilung berawal ketika terjadi perebutan kekuasaan di kahyangan antara tiga bersaudara anak dari Sang Hyang Tunggal yang terdiri dari Sang Hyang Antaga atau Sang Hyang Puguh, anak sulung, Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Manikmaya. Mereka bertiga saling berebut menjadi penguasa tertinggi di kahyangan.

Dikarenakan tidak ada yang saling mengalah, maka Sang Hyang Tunggal mengadakan sayembara, barang siapa yang dapat menelan gunung Saloka dalam keadaan utuh dan kemudian memuntahkan kembali maka ia akan berhak menjadi penguasa kahyangan.

Sang Hyang Puguh dan Sang Hyang Ismaya saling mendahului untuk menelan gunung Saloka. Karena tergesa-gesa, gigi Sang Hyang Puguh cuwil. Kemudian cuwilan gigi itu berubah wujud menjadi seorang laki-laki. Oleh Sang Hyang Tunggal, laki-laki tersebut diberi nama Bilung.

Karena gagal menelan gunung Saloka, Sang Hyang Puguh atau Sang Hyang Antaga yang kemudian terkenal dengan nama Togog diperintahkan oleh Sang Hyang Tunggal untuk turun ke dunia menjadi pamomong manusia. Sedangkan Bilung diperintahkan mengikuti Togog turun ke dunia.

Tokoh Bilung dan Togog dapat dikatakan sebagai tokoh dwi tunggal, dua tetapi satu, tak terpisahkan. Di mana ada Togog, disitu ada Bilung, demikian juga sebaliknya. Saking menyatunya hubungan antara Togog dan Bilung ada yang mengatakan sebagaimana hubungan antara Bapak dan anak atau hubungan antara kakak dan adik.

Dalam mengemban tugas, Bilung dan Togog selalu mengabdi kepada seorang raja yang berperangai jelek dan berhati jahat. Namun walau demikian, Bilung dan Togog tetap menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh. Sebagai pamomong, nasihat-nasihat baik dan luhur selalu dilontarkan kepada tuannya. Namun bukan salah Bilung dan Togog sebagai pamomong, jika kemudian sang raja yang di emong terjerumus dalam lembah kenistaan, dikarenakan tidak mau mematuhi nasihat-nasihat dari Bilung dan Togog.

Bilung juga bernama Sarahita atau Sarawita. Nama tersebut ada kaitannya dengan penjelmaan dari dewa yang bernama Sang Hyang Surata atau Sang Hyang Sarahita. Ada kemungkinan bahwa Sang Hyang Sarahita menjelma pada cuwilan gigi Sang Hyang Antaga, Oleh karena itu ketika menjadi panakawan disebut dengan Bilung Sarahita.

Selain sebagai panakawan atau pamomong, kemunculan Bilung juga berperan sebagai penghibur yang lucu, sinis, sekaligus kritis, dalam mengingatkan tuannya dan mengingatkan jamannya.

herjaka HS

Wisanggeni

Figur Wayang Wisanggeni

Kisah kelahiran Wisanggeni tidak seperti kisah-kisah kelahiran pada umumnya. Jika pada umumnya kelahiran membawa sukacita, tidaklah demikian dengan kelahiran Wisanggeni. Bayi merah yang menangis lucu, tidak ditimang dipangkuan ibu untuk kemudian di beri asi, tetapi dimasukan di Kawah Candradimuka yang panas membara. Batara Brama kakek sang bayi menyesal telah mengijinkan putrinya Dewi Dresanala yang sedang mengandung diceraikan dengan Arjuna untuk diboyong Dewasrani di Nusarukmi. Oleh karenanya, ketika tiba waktunya Dewi Dresanala melahirkan, bayi itu sengaja dimusnahkan oleh Dewasrani. Anehnya bayi tersebut tidak hancur menjadi abu, malahan tumbuh menjadi besar dan sakti. Ia kemudian diberi nama Wisanggeni, yang artinya inti dari api itu sendiri

Wisanggeni yang adalah anak Arjuna merupakan seorang ksatria yang ‘ndugal kewarisan’, nakal tetapi ‘sembada’. Badannya kecil dan parasnya tampan. Ia tidak bisa bahasa krama, walaupun dengan dewa sekalipun, tetapi jujur dan selalu berpegang pada kebenaran. Sang Hyang Pada Wenang penguasa alam semesta, sangat menyayangi Wisanggeni, oleh karenanya ia diberi kesaktian yang tak terkalahkan. Ia ikut Batara Brama kakeknya tinggal di kahyangan Duksinageni. Wisanggeni mempunyai seorang istri bernama Mustikawati putri Prabu Mustikadarma raja Sonyapura.

Watak, ‘solahbawa’ atau tindak-tanduk dan kesaktian Wisanggeni sama persis dengan kakak sepupunya, yaitu Antasena anak Bima. Keduanya sangat akrab dan kompak, tidak mau berpisah, kemana-mana selalu berdua.

Kesaktian Wisanggeni yang tak terkalahkan ini menimbulkan kegelisahan para dewa. Dasar kegelisahan tersebut adalah, jika nanti tiba waktunya perang Baratayuda, Wisanggeni menjadi senapati di pihak Pandawa, maka semua senopati Kurawa tak ada yang dapat menandingi Wisanggeni. Itu artinya bahwa rencana yang telah ditulis dalam Kitab Jitabsara mengenai ketentuan-ketentuan senopati yang nantinya saling berhadapan dari kedua belah pihak dalam perang Baratayuda, tidak berlaku. Dengan alasan itu maka Para dewa memutuskan bahwa Wisanggeni tidak diperbolehkan ikut dalam perang Baratyuda

Dikarenakan Wisanggeni adalah titah kesayangan Sang Hyang Pada Wenang, maka Batara Guru sebagai rajanya para dewa mengutus Batara Brama untuk memasrahkan Wisanggeni cucunya kepada Sang Hyang Pada Wenang. Dihadapan Sag Hyang Pada Wenang Wisanggeni bersama Antasena Sepupunya menanyakan apakah perang Baratayuda akan dimenangkan Pandawa? Sang Hyang Pada Wenang menjawab, Pandawa akan menang jika Wisanggeni dan Antasena merelakan diri untuk tidak ikut berperang. Jika tidak ikut berperang lantas apa yang kami kerjakan? Tinggalah di sini, kalian akan melihat kemenangan Pandawa. Wisanggeni dan Antasana mentaati perintah Sang Hyang Pada Wenang. Untuk dapat tinggal selamanya bersama Sang Hyang Pada Wenang dan bersama-sama menyaksikan Pandawa yang jaya di perang Baratayuda, Wisanggeni dan Antasena ‘meracut raga’nya. Mereka memandang titik diantara dua mata. Semakin lama tubuh Wisanggeni dan Antasena mengecil dan semakin mengecil hingga akhirnya hilang kembali ke asal muasal, alam keabadian.

herjaka HS

Kartamarma

Figur Wayang Kartamarma

Kartamarma dalam bentuk wayang kulit buatan Kaligesing Purworejo,
koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)
Kartamarma

Kartamarma adalah salah satu dari seratus anak bersaudara laki-laki yang lebih populer disebut dengan Kurawa. Anak pasangan Destarastra dan Dewi Gendari ini bertempat tinggal di negara kecil yang ditaklukan Hastina, dan kemudian disebut dengan ksatrian Toyatinalang. Di Hastinapura Kartamarma termasuk tokoh penting. Karena disamping sebagai putra raja, sewaktu yang menjadi raja Destarastra atau juga adik raja saat yang menjadi raja Duryudana, Kartamarma diangkat menjadi panitisastra atau sekretaris negara pada masa pemerintahan Prabu Duryudana. Oleh karenanya ia selalu hadir dalam setiap adegan atau cerita yang mengisahkan para Kurawa.

Walaupun Kartamarma tidak mempunyai kesaktian yang menonjol, ia adalah satu-satunya keluarga kurawa yang tidak mati dalam perang Baratayuda. Ketika melihat gelagat bahwa Kurawa bakal kalah, Kartamarma menyingkir ke hutan sembari menunggu perang selesai. Di hutan Kartamarma bertemu dengan Aswatama, anak Pandita Durna.

Setelah mendengar kabar bahwa Duryudana telah mati dan perang Baratayuda selesai Kartamarma dan Aswatama bermaksud kembali ke Hastina untuk menjemput Dewi Banowati. Kartamarma ingin mengambil istri, sedangkan Aswatama bermaksud membunuh Banowati. Namun maksud keduanya tidak kesampaian, karena Dewi Banowati telah terlebih dahulu diboyong oleh Arjuna di perkemahan para Pandawa.

Akhirnya Kartamarma dan Aswatama merubah rencana. Mereka ingin menyusup ke perkemahan pada malam hari untuk membunuh para pandawa. Dalam penyusupan tersebut Aswatama berhasil membunuh Banowati, Drestajumena dan Srikandi. Sedangkan Kartamarma dengan ditemani Resi Krepa menunggu di luar perkemahan. Keberadaan mereka berdua dipergoki oleh keluarga pandawa.

Dihadapan Kartamarma dan Resi Krepa Prabu Kresna mengatakan bahwa dengan menyusup di perkemahan pada malam hari untuk membunuh lawan yang sedang istirahat, merupakan sikap yang tidak terpuji. Sikap yang telah menanggalkan watak ksatria dan watak Pandita. Oleh karenanya Prabu Kresna mengutuk Kartamarma dan Resi Krepa menjadi seekor ‘Kutis’ hewan pemakan kotoran.

Ada yang mengisahkan bahwa Kartamarma atau Kertawarma bukan salah satu anak pasangan Destrarastra dan Gendari, melainkan anak Prabu Herdika seorang raja di Kerajaan Bhoja. Dalam perang Baratayuda, Kertawarma memihak Korawa. Hingga perang berakhir Kertawarma masih selamat. Ia kemudian pulang ke negaranya, untuk tidak berperang lagi.

herjaka HS

Gareng

Figur Wayang gareng

Penggambaran tokoh Gareng dalam bentuk wayang kulit Purwa, buatan Kaligesing Purworejo,
koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)
Gareng

Di padepokan Bluluktiba, tinggallah seorang ksatria muda berwajah tampan bernama Bambang Sukadadi. Sebagian besar dari hidupnya dijalaninya dengan laku tapa. Pada suatu waktu, ketika dalam perjalanan pulang sehabis melakukan tapa, Bambang Sukadadi bertemu dengan seorang pemuda tampan sebaya dirinya, bernama Bambang Precupanyukilan dari padepokan Kembangsore, yang juga gemar menjalani laku tapa. Pertemuan sesama petapa muda tersebut berujung dengan pertengkaran. Masing-masing dari keduanya merasa dirinyalah yang paling tampan, paling sakti dan paling unggul. Untuk membuktikan siapa yang pantas diunggulkan, mereka malakukan perang tanding, satu melawan satu.

Konon perang tanding itu amatlah lama. Jika lelah mereka sepakat untuk berhenti, dan kemudian melanjutkan lagi. Beberapa hari berlalu, ketika perang belum juga usai, lewatlah Janggan Smarasanta manusia cebol yang kemudian menjadi tempat menitis Semar Ismaya, dari padepokan Karang Kadempel. Semar tidak sampai hati melihat wajah dan tubuh kedua rusak. Maka Semar mencoba melerainya dengan kata-kata. Apakah yang kalian perebutkan hai anak muda? Ketampanan? Atau kesaktian? Karena sesungguhnya ketampanan dan kesaktian yang dianugerahkan sudah tidak ada padamu. Lihatlah wajahmu telah rusak dan tidak ada pemenang diantara kalian.

Mendengar seruan Semar, Bambang Sukadadi dan Bambang Precupanyukilan seperti diberi aba-aba, mereka menghentikan pertengkarannya dan lari untuk mendapatkan permukaan air nan jernih untuk melihat wajahnya. Keduanya lungkai dan lemas mendapati wajahnya yang telah rusak. Mereka menyesali perbuatan bodohnya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Atas penyesalan yang diungkapkan, Semar mengangkat mereka menjadi anaknya. Bambang Sukadadi, yang lebih tua diberi nama Gareng. Sedangkan Bambang Precupanyukilan menjadi adik Gareng bernama Petruk.

Mengenai asal-usul Gareng ini ada beberapa versi, ada yang menyebutkan bahwa sebelumnya Gareng ini adalah anak dari pasangan Gandarwa Bausasra dan Nyi Luntrung yang berkuasa di wilayah gunung Nilandusa dengan nama Kucir. Karena disia-siakan Kucir dan Kuncung adiknya di ambil anak oleh Semar dan namamnya diganti dengan Gareng dan Petruk.

Sedangkan menurut versi pedhalangan khusunya yang sering diceritakan oleh dalang Jogyakarta, Gareng sebelumnya adalah anak raja Jin yang bernama Gandarwa Raja Bali, dengan nama Penyukilan. Ia berwajah tampan tetapi nakal. Ia memiliki saudara tua bernama Pecruk. Bersama dengan kakaknya itulah ia sering mengganggu orang yang sedang lewat.

Pada suatu saat ketika sedang melakukan aksi ‘nakal’nya, Pecruk dan Penyukilan berhadapan dengan Semar yang baru saja turun dari Kahyangan, maka diganggulah Semar oleh keduanya. Tetapi Semar melawan bahkan kedua anak itu diinjak-injak hingga tubuhnya rusak.

Akhirnya Pecruk dan Penyukilan mohon ampun dan mengaku kalah. Oleh Semar, kedua anak itu diampuni asal bersedia menemani menjadi pamomong satria. Pecruk dan Penyukilan bersedia menuruti kehendak Semar. Keduanya diangkat menjadi anak Semar. Penyukilan yang lebih dulu rusak tubuhnya, dianggap sebagai saudara sulung dan diberi nama Gareng. Kemudian Pecruk diangkat menjadi anak nomor dua.

Dari beberapa versi tersebut, Gareng ditempatkan sebagai anak angkat Semar yang nomor satu, dan selalu bersama Semar menjadi pamomong satria berbudi luhur. Dalam pewayangan Gareng digambarkan sebagai seorang yang serba cacat. Matanya juling hidungnya bulat, tangannya ceko atau bengkok, perutnya buncit seperti, kakinya pincang karena sakit bubulen. Namun dibalik semua kekurangan pada fisiknya, Gareng adalah seseorang yang sederhana, rendah hati dan jujur. Dalam pentas wayang kulit purwa, Gareng selalu tampil pada tengah malam saat adegan gara-gara. Ia tampil bersama Semar, Petruk dan Bagong.

Gareng mempunyai seorang istri bernama Dewi Sariwati putri Prabu Sarawasesa dari kerajaan Saralengka. Dalam sejarah hidupnya, Gareng pernah menjadi seorang raja bergelar Prabu Pandu Pragola di kerajaan Paranggumiwang. Nama lain Gareng adalah: Nala Gareng, Nalawangsa, Cekruk Tuna, Pancal Pamor, Pegat Waja.

herjaka HS

Energi Matahari

Figur Wayang

Basukarno, sesaat setelah diwisuda menjadi seorang Adipadi (lukisan: Herjaka HS)
Kidung Malam 93
Energi Matahari

Di siang hari yang terik, Adipati Karno berjalan menyusuri tepi Sungai Gangga. Air sungai yang mengalir tenang mampu menampakkan wajah matahari secara utuh. Adipati Karno memilih memandangi wajah matahari tidak secara langsung, melainkan melalui gambaran yang dipantulkan oleh air sungai Gangga. Entah mengapa hal itu selalu dilakukukan oleh Adipati Karno sejak kanak-kanak hingga sekarang, saat dirinya telah diwisuda menjadi Adipati, oleh Duryudana.

Jika ditanya mengapa hal itu dilakukan, Adipati Karno tidak tahu. Hanya saja saat Karno melakukan hal itu, ada getaran energi yang mengalir di dalam tubuh. Energi yang didapat dari pantulan matahari sangat membantu saat dirinya berada pada suasana yang sedang tidak menguntungkan.

Seperti misalnya ketika masih remaja. Karno diolok-olok oleh murid-murid Sokalima saat dirinya ingin ikut bergabung belajar ilmu kepada Pandita Durna. Para murid Sokalima yang terdiri dari Kurawa dan Pandawa mengusir Karno dengan kata-kata:

“Anak kusir diusir, anak ratu dijamu”

Karno tidak menanggapi olok-olokan tersebut, ia berlari meninggalkan halaman padepokan Sokalima, bukan karena takut, tetapi agar tidak menjadi bulan-bulanan oleh mereka. Jika hatinya sedang kacau seperti itu, ada magnet yang amat kuat agar Karno mengadu kepada matahari. Namun dikarenakan matanya tidak kuat menatap secara langsung, ia menatap matahari melalui pantulan yang ada di air. Ajaibnya, pada waktu Karno melakukan hal itu, kegundahan hatinya segera sirna. Ada energi baru yang memungkinkan Karno untuk menghadapi segala olok-olok dan cercaan hidup dengan dada yang tegap dan penuh percaya diri.

Beberapa saat setelah menatap pantulan matahari, Karno pun kembali pada niat semula, yaitu belajar ilmu-ilmu tingkat tinggi di Sokalima.

Entah apa yang terjadi kemudian, senyatanya Karno dapat dengan leluasa mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Pandita Durna dari jarak jauh, tanpa diketahui oleh mereka dan tanpa olok-olok dari murid lain. Dengan penuh ketekunan, dalam beberapa waktu, Karno mengalami kemajuan yang pesat di dalam berolah senjata panah, tidak kalah jika dibandingkan dengan muri-murid Sokalima yang lain, bahkan murid-murid terbaik Sokalima, yaitu Ekalaya dan Arjuna

Adirata bapaknya dan Nyi Rada Ibunya, tidak tahu apa yang dilakukan Karno anaknya, namun kedua orang tua tersebut melihat bahwa anaknya telah tumbuh menjadi remaja yang tampan, terampil, penuh percaya diri dan yang istimewa bahwa Karno tidak pernah mengeluh dalam segala macam kesulitan hidup.

Walaupun Karno tumbuh menjadi remaja yang mempunyai kelebihan dalam segala hal, jika dibandingkan dengan remaja-remaja pada umumnya, Adirata sebagai seorang sais kereta berpandangan sederhana, bahwa Karno diharapkan dapat mewarisi dirinya sebagai sais kereta. Oleh karenanya untuk menunjang hal itu, Adirata membelikan kereta kuda kepada Karno.

Menjadi anak yang berbakti kepada orang tua memang tidak mudah. Ada hal-hal yang perlu dikorbankan sebagai tanda bakti kepada orang tua. Seperti halnya yang dialami Karno, disatu sisi ia harus menerima pemberian orang tuanya berupa kereta kuda untuk belajar menjadi sais, disisi lain Karno tidak pernah bermimpi menjadi seorang sais kereta seperti bapaknya. Oleh karenanya agar tidak mengecewakan orang tuanya, Karno selalu menyisihkan waktu untuk berlatih mengendarai kereta kuda, tetapi tidak untuk menjadi sais kereta, melainkan untuk menjadi senapati perang dikelak kemudian hari.

herjaka HS